lynx   »   [go: up one dir, main page]

Lompat ke isi

Terorisme

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Terorisme adalah penggunaan kekerasan dengan sengaja untuk mencapai tujuan politik atau ideologis. Istilah ini biasanya digunakan untuk kekerasan dalam masa damai atau kekerasan pada nonkombatan (warga sipil atau pasukan netral). Tujuan utama dari aksi terorisme adalah tercapainya kepentingan secara politik atau ideologi.

Etimologi

[sunting | sunting sumber]

Kata "terorisme" pertama kali muncul di Oxford English Dictionary edisi tahun 1795. Oxford memberikan dua definisi, yaitu: 1) Pemerintahan dengan intimidasi yang dijalankan oleh pemegang kekuasaan di Prancis pada 1789-1794; dan 2) Umumnya, kebijakan yang bertujuan menciptakan teror pada siapapun yang berlawanan.[1] Pada awalnya, terorisme didefinisikan sebagai tindakan yang dapat dilakukan oleh negara atau pemerintah pada rakyatnya, yang disebut sebagai terorisme negara. Di sisi lain, pada 1937 Liga Bangsa-Bangsa mendefinisikan terorisme sebagai perbuatan kriminal melawan negara. Definisi kedua ini sekarang lebih sering digunakan untuk menjelaskan makna terorisme. Hal ini mungkin berkaitan dengan perubahan politik pada pertengahan abad ke-19. Setelah 1848, terorisme lebih dikenal sebagai tindakan melawan pemimpin tiran.[1]

Definisi modern

[sunting | sunting sumber]

Di abad ke-20, masih terdapat perdebatan di kalangan para ahli tentang definisi terorisme. Andrew Heywood mendefinisikan terorisme sebagai salah satu jenis kekerasan yang bertujuan menebarkan ancaman atau ketakutan melalui berbagai strategi provokasi dan polarisasi. Terorisme berbeda dari perang konvensional, yang mana terorisme umumnya dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak memiliki kemampuan menghadapi musuh dalam perang konvensional.[2]

Istilah teroris oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk kepada para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serang-serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi. Terorisme dapat muncul dan berkembang apabila ideologi tersebut memiliki lahannya untuk hidup.

Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan "teroris" dan "terorisme", para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis, pejuang pembebasan, militan, mujahidin, dan lain-lain. Makna sebenarnya dari jihad dan mujahidin jauh dari tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil di luar perang. Namun, aksi dan pelaku terorisme sering tampak mengatasnamakan agama tertentu.

Selain oleh pelaku individual, terorisme bisa dilakukan oleh negara atau dikenal dengan terorisme negara (state terorism). Misalnya, Noam Chomsky yang menyebut Amerika Serikat ke dalam kategori itu. Persoalan standar ganda selalu mewarnai berbagai penyebutan yang awalnya bermula dari Barat. Seperti ketika Amerika Serikat banyak menyebut teroris terhadap berbagai kelompok di dunia, di sisi lain liputan media menunjukkan fakta bahwa Amerika Serikat juga terlibat dalam tindakan-tindakan terorisme yang mengerikan hingga melanggar konvensi maupun hukum internasional yang telah disepakati.

Terorisme di dunia

[sunting | sunting sumber]
Serangan 11 September 2001
United Airlines Penerbangan 175 bertabrak dengan Menara Selatan dari World Trade Center pada serangan Serangan 11 September 2001 dalam Kota New York.

Terorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru, namun menjadi aktual terutama sejak terjadinya peristiwa terorisme di gedung World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001—dikenal sebagai “September Kelabu”—yang memakan sekitar 3000 korban. Serangan dilakukan oleh kelompok militan Al-Qaeda melalui udara, tidak menggunakan pesawat tempur, melainkan menggunakan pesawat komersial milik perusahaan Amerika sendiri, sehingga tidak tertangkap oleh radar Amerika Serikat. Tiga pesawat komersial milik Amerika Serikat dibajak, dua di antaranya ditabrakkan ke menara kembar World Trade Center dan gedung Pentagon.

Berita jurnalistik seolah menampilkan gedung World Trade Center dan Pentagon sebagai korban utama penyerangan ini. Padahal, lebih dari itu, yang menjadi korban utama dalam waktu dua jam itu mengorbankan kurang lebih 3.000 orang pria, wanita dan anak-anak yang terteror, terbunuh, terbakar, meninggal, dan tertimbun berton-ton reruntuhan puing akibat sebuah pembunuhan massal yang terencana. Akibat serangan teroris itu, menurut Dana Yatim-Piatu Twin Towers, diperkirakan 1.500 anak kehilangan orang tua. Di Pentagon, Washington D.C, 189 orang tewas, termasuk para penumpang pesawat, 45 orang tewas dalam pesawat keempat yang jatuh di daerah pedalaman Pennsylvania. Para teroris mengira bahwa penyerangan yang dilakukan ke World Trade Center merupakan penyerangan terhadap "Simbol Amerika". Namun, gedung yang mereka serang tak lain merupakan institusi internasional yang melambangkan kemakmuran ekonomi dunia. Di sana terdapat 430 perusahaan dari 28 negara. Jadi, sebenarnya mereka tidak saja menyerang Amerika Serikat tetapi juga dunia.[3] Amerika Serikat menduga Osama bin Laden sebagai tersangka utama pelaku penyerangan tersebut.

Kejadian ini merupakan isu global yang memengaruhi kebijakan politik seluruh negara-negara di dunia, sehingga menjadi titik tolak persepsi untuk memerangi Terorisme sebagai musuh internasional. Pembunuhan massal tersebut telah mempersatukan dunia melawan Terorisme Internasional.[4] Terlebih lagi dengan diikuti terjadinya Tragedi Bom Bali pada 12 Oktober 2002 yang menimbulkan korban sipil terbesar di dunia,[5] yaitu menewaskan 184 orang dan melukai lebih dari 300 orang.

Perang terhadap Terorisme yang dipimpin oleh Amerika, mula-mula mendapat sambutan dari sekutunya di Eropa. Pemerintahan Tony Blair termasuk yang pertama mengeluarkan Anti Terrorism, Crime and Security Act pada Desember 2001, diikuti tindakan dari negara-negara lain yang pada intinya adalah melakukan perang atas tindak terorisme, sesuai dengan pengertian yang tercantum dalam pasal 14 ayat 1 The Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) act, 1984, sebagai berikut: “Terrorism means the use of violence for political ends and includes any use of violence for the purpose putting the public or any section of the public in fear.”[6]

Aksi terorisme mempunyai tujuan untuk membuat orang lain merasa ketakutan sehingga dengan demikian dapat menarik perhatian orang, kelompok atau suatu bangsa. Biasanya perbuatan teror digunakan apabila tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh untuk melaksanakan kehendaknya. Terorisme digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana panik, tidak menentu serta menciptakan ketidak percayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dan memaksa masyarakat atau kelompok tertentu untuk mentaati kehendak pelaku teror.[7] Terorisme tidak ditujukan langsung kepada lawan, akan tetapi perbuatan teror justru dilakukan di mana saja dan terhadap siapa saja. Dan yang lebih utama, maksud yang ingin disampaikan oleh pelaku teror adalah agar perbuatan teror tersebut mendapat perhatian yang khusus atau dapat dikatakan lebih sebagai psy-war.

Sejauh ini belum ada batasan yang baku untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan terorisme. Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut. Sedangkan menurut Prof. Brian Jenkins, Phd., Terorisme merupakan pandangan yang subjektif,[8] hal mana didasarkan atas siapa yang memberi batasan pada saat dan kondisi tertentu.

Belum tercapainya kesepakatan mengenai apa pengertian terorisme tersebut, tidak menjadikan terorisme dibiarkan lepas dari jangkauan hukum. Usaha memberantas Terorisme tersebut telah dilakukan sejak menjelang pertengahan abad ke-20. Pada tahun 1937, lahir Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Terorisme (Convention for The Prevention and Suppression of Terrorism), di mana konvensi ini mengartikan terorisme sebagai kejahatan terhadap negara (crimes against state). Melalui European Convention on The Supression of Terrorism (ECST) tahun 1977 di Eropa, makna terorisme mengalami suatu pergeseran dan perluasan paradigma, yaitu sebagai suatu perbuatan yang semula dikategorikan sebagai crimes against state (termasuk pembunuhan dan percobaan pembunuhan kepala negara atau anggota keluarganya), menjadi kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), di mana yang menjadi korban adalah masyarakat sipil.[9] Kejahatan terhadap kemanusiaan termasuk kategori pelanggaran HAM berat (Gross Violation of Human Rights) yang dilakukan secara meluas/sistematik yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, terutama pada orang yang tidak bersalah (public by innocent).[10]

Terorisme kian jelas menjadi momok bagi peradaban modern. Sifat tindakan, pelaku, tujuan strategis, motivasi, hasil yang diharapkan serta dicapai, target-target serta metode Terorisme kini semakin luas dan bervariasi. Sehingga semakin jelas bahwa teror bukan merupakan bentuk kejahatan kekerasan destruktif biasa, melainkan sudah merupakan kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia (crimes against peace and security of mankind).[11] Menurut Muladi, Tindak Pidana Terorisme dapat dikategorikan sebagai mala per se atau mala in se,[12] tergolong kejahatan terhadap hati nurani (Crimes against conscience), menjadi sesuatu yang jahat bukan karena diatur atau dilarang oleh Undang-Undang, melainkan karena pada dasarnya tergolong sebagai natural wrong atau acts wrong in themselves bukan mala prohibita yang tergolong kejahatan karena diatur demikian oleh Undang-Undang.[13]

Dalam rangka mencegah dan memerangi Terorisme tersebut, sejak jauh sebelum maraknya kejadian-kejadian yang digolongkan sebagai bentuk Terorisme terjadi di dunia, masyarakat internasional maupun regional serta pelbagai negara telah berusaha melakukan kebijakan kriminal (criminal policy) disertai kriminalisasi secara sistematik dan komprehensif terhadap perbuatan yang dikategorikan sebagai Terorisme.[14]

Tahapan Tujuan

[sunting | sunting sumber]

Menurut Peter R. Neumann dan M.L.R. Smith, menyebutkan terdapat tiga tahapan dari para teroris untuk mencapai tujuannya[15]. Pertama; disorientation, pelaku teror berharap aksi yang mereka lakukan dapat dipercaya oleh masyarakat sebagai kegagalan pemerintahan dalam menjaga pertahanan masyarakatnya. Langkah yang dilakukan adalah menyebar kekacauan dalam interaksi sosial masyarakat. Kedua; target response, pelaku teror mencari letak serangan yang paling strategis agar sesuai dengan tahapan pertama. Sehingga seperti yang kita ketahui, kebanyakan serangan yang dilakukan tertuju pada sarana publik. Ketiga; gaining legitimacy, untuk dapat melemahkan peran pemerintah teroris perlu untuk mendapatkan legitimasi baru dari segala aksinya. Tahapan ini dapat dilakukan dalam dua bentuk, melalui skillfull manipulation of media (melalui internet) dan grassroots political agitation (usaha pengerahan massa).

Tipologi Terorisme

[sunting | sunting sumber]

Dari masa ke masa, terdapat beberapa tipologi terorisme yang dapat dikonstruksikan, yakni antara lain[16];

  • Tipologi yang berpusat pada pelaku: terorisme rezim (negara represif), terorisme negara, terorisme anarkis, terorisme sosial revolusioner (sayap kiri), terorisme rasis/xenofobia (sayap kanan), terorisme etno-nasionalis (separatist or irredentist), vigilante (revenge) terrorism, lone wolf / actor terrorism, organized crime related (narco-) terrorism, state-sponsored (foreign) terrorism.
  • Methods and tactics-centered typologies: insurgent (civil war) terrorism, warfare (inter-state war) terrorism, nuclear terrorism, suicide terrorism, cyber terrorism.
  • Motive-centered typologies: political terrorism, revolutionary terrorism, religious (fundamentalist) terrorism, eco-terrorism, single issue terrorism, idiosyncratic (contoh mental illness-related) terrorism.
  • Location-centered typologies: domestic (national) terrorism, urban terrorism, transnational terrorism, and international terrorism.

Secara umum, motivasi terorisme adalah untuk

  • Mengintimidasi
  • Mendapat atensi
  • Memberi inspirasi (Seperti dalam Revolusi)
  • Memaksa Pemerintah untuk menyetujui tuntutan

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b Teichman, Jenny (1989-10). "How to Define Terrorism". Philosophy (dalam bahasa Inggris). 64 (250): 505–517. doi:10.1017/S0031819100044260. ISSN 0031-8191. 
  2. ^ Heywood 2017, hlm. 516-519.
  3. ^ Koalisi Internasional”, <http://www.usembassyjakarta.org/terrornet/keberanian.html>
  4. ^ Collin L Powell, “Sebuah Perjuangan Keras yang Panjang”, <http://jakarta.usembassy.gov/press_rel/Pwl_newsi.htm Diarsipkan 2008-02-10 di Wayback Machine.>
  5. ^ Indriyanto Seno Adji, Bali, “Terorisme dan HAM” dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia, (Jakarta: O.C. Kaligis & Associates, 2001), hal.51.
  6. ^ Loebby Loqman, Analisis Hukum dan Perundang-Undangan Kejahatan terhadap Keamanan Negara di Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1990), hal. 98.
  7. ^ Loebby Loqman, Ibid.
  8. ^ Indriyanto Seno Adji, “Terorisme, Perpu No.1 tahun 2002 dalam Perspektif Hukum Pidana” dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia (Jakarta: O.C. Kaligis & Associates, 2001), hal. 35.
  9. ^ Indriyanto Seno Adji, “Terorisme, Perpu No.1 tahun 2002 dalam Perspektif Hukum Pidana” dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia (Jakarta: O.C. Kaligis & Associates, 2001), hal. 50.
  10. ^ Indriyanto Seno Adji, Bali, Terorisme dan HAM, Op. cit., hal. 52.
  11. ^ Mulyana W. Kusumah, Terorisme dalam Perspektif Politik dan Hukum, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, vol 2 no III (Desember 2002): 22.
  12. ^ Mala in se are the offences that are forbidden by the laws that are immutable: mala prohibita, such as are prohibited by laws that are not immutable. Jeremy Bentham, “Of the Influence of Time and Place in Matters of Legislation” Chapter 5 Influence of Time. <http://www.la.utexas.edu/research/poltheory/bentham/timeplace/timeplace.c05.s02.html>
  13. ^ Mompang L. Panggabean, “Mengkaji Kembali Perpu Antiterorisme” dalam Mengenang Perppu Anti Terorisme, (Jakarta: Suara Muhamadiyah, Agustus 2003) cet.I, hal 77.
  14. ^ Muladi, Hakikat Terorisme dan Beberapa Prinsip Pengaturan dalam Kriminalisasi, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, vol 2 no III (Desember 2002): 1.
  15. ^ Mahnken, Thomas; Maiolo, Joseph (2008). Strategic Studies, a Reader. New York: Routledge. ISBN 9780415772228. Periksa nilai: invalid character |isbn= (bantuan). 
  16. ^ Abrahms, Max. The Routledge Companion to Terrorism Studies. London & New York: Routledge. hlm. 8. ISBN 9781032454443. 

Daftar Pustaka

[sunting | sunting sumber]
  • Heywood, Andrew (2017). Poltiik Global [Global Politics]. Diterjemahkan oleh Lazuardi, Ahmad Lintang (edisi ke-2). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 
  • Mahnken, Thomas; Maiolo, Joseph (2008). Strategic Studies: a Reader. New York: Routledge. 
Лучший частный хостинг